Minggu, 29 September 2013

My Father My Hero

Hari ini tanggal 28 September 2013. Udah lamaaa banget gag ngeblog. Ada skitar 6 bulanan semenjak aku trakhir post entri disini. Lalu, apa kabar 6 bulan yang berlalu itu?

Banyak.

A lot of thing happened.

Sedih, susah, senang, unforgetable, semua nyampur jadi satu dimasa vakum ngeblog 6 bulan ini. Yaah, aku mau nyoba ngrekap semua yang telah kulihat, kurasakan, dan kualami, kedalam tulisan singkat didalam blog ini. Karena keterbasan media, mungkin sangat amat banyak elemen yang tak bisa aku ceritakan disini. Mungkin akan aku pisah menjadi beberapa chapter.

Aku mulai dengan yang sedih dulu.

Aku kehilangan ayah.

Sedih, sesak, sesal, hampa, semuanya terbaur menjadi satu elemen rasa yang baru. Aku gag bsa menyebutkannya sedih karena terlalu sedih. Aku gag bisa menahan sesak karena terlalu sesak. Aku mengalami penyesalan yang lebiih dari rasa penyesalan biasa. Dan aku mengalami kehampaan yang begitu dahsyatnya, saat aku melihat ayahku telah terbaring dengan rapihnya di ruang tamu dengan dikerumuni orang orang takziah. Sungguh, suatu atmosfer yang pilu . .

Kejadian bermula saat aku menutup telepon dari pacar aku di minggu pagi. Kira2 berselang 10 menit dari telpon pacar, nomor pesawat telepon rumah memanggil. Aku angkat. Aku mulai berbicara . .

"Halo?"

"Iya halo mas. Mas, mas pulang ya."

*sekelebat muncul perasaan aneh, tapi aku masih membungkamnya dalam2

"Maaf, ini siapa ya?"

aku menanyakan seperti itu karena suara di telepon itu bukan berasal dari anggota keluarga yang berada di rumah. Suara dari orang lain, dan keliatan...bingung.

"Ini bupuh si mas. Mas dika pulang ya. Harus pulang. Kita tunggu."

DEGG *aku serasa tak mempercayai pendengaranku. Ada suara tangisan mamahku di belakang telepon. Aku mulai gugup.

"Lho emang ada apa bupuh?" tanyaku

"Gagpapa mas. Papa lagi ngedrop. Mas pulang ya. Harus pulang ya mas. Mas gag usah mikir apa2. Hati2 dijalan. Kita tunggu."

Perasaanku udah gag karuan. Tangisan mama dibelakang telepon terdengar semakin jelas, dan...parau. Aku cepet2 mengiyakan dan langsung kusabet dompet dan hp dan langsung menuju parkiran buat naek motor ke terminal.

Di perjalanan menuju terminal, saya menangis dengan hebatnya. Saya takut. Takut sekali. Namun saya masih berharap tak terjadi apa2 pada ayahku. Saya masih menyimpan harap.

Sampe di terminal, tak kuat menahan rasa, saya menelepon orang rumah lagi. Kali ini yang ngangkat telepon adalah bapak belakang rumah. Lagi2 bukan anggota rumah. Ada apa ini??? Aku tanyakan tetapi jawabanny tetap sama seperti jawaban dari bupuhku tadi. Aku gag habis akal. Aku mencari kontak adikku, dan meneleponnya. Klik! "Halo" suara adekku terdengar di ujung telepon.

"Halo, da..mama dimana?" di otak saya, mamah saya yang jadi prioritas.

"Mamah dibelakang mas, sama orang2" kata adek

"Papa kenapa da???" tanyaku agak sedikit membentak.

"Papa...Papa udah meninggal mas." sahut adekku pendek

GLEGER! Lemas. Gag berdaya. Semua pikiran burukku diperjalan tadi kejadian. Otakku buntu. Aku terdiam sambil menyandar di tembok terminal. Lama.


**********

Aku kabarin pacar aku, citra, tentang hal ini. Dia kaget. Dia tak henti2nya menanyakan kebenaranny. Aku tak bisa menjawab lagi. Hanya tangis yang keluar dari muka ini. Aku hanya nangis, nangis dan nangis selama perjalanan pulang. Citra selalu setia menemaniku di telepon. Aku hanya terisak. Aku dah gag ngurusi lagi wajah orang2 disekitarku, yang mungkin bertanya tanya tentang keadaanku yang seperti ini. 

Citra kemudian ijin dari kerjanya untuk datang ke rumahku. Setelah sampai dirumah, dia terus dan terus menemaniku via telepon, menanyakan posisi aku, dan selalu menuturiku, memberikanku kekuatan. Kata2nya yang masih selalu aku ingat adalah,

"Ingat, kamu hanya boleh nangis didepan aku. Kamu gag boleh nangis didepan mamah kamu. Pokoknya gag boleh. Kamu harus kuat. Kalo semuanya nangis, ntar siapa yang nguatin mamah kamu?"

Yah begitulah. Percayalah sayang. Kata2mu itu yang selalu aku pegang. Yang menguatkanku didepan mama aku agar aku tidak terisak. Thanks sayang :')

Turun dari bis, aku dijemput Citra dan mas ku menggunakan mobil. Aku udah gag karuan. Sesampainya dirumah, aku langsung buru2 mencari mamahku. Mamahku duduk lemas dikerumunin sama orang2 disekitarnya. Begitu melihat wajahku, tangis mamahku pecah. Sungguh, suatu keadaan yang teramat pahit saat itu. Pilu..sungguh pilu. Saya tahan tangisku sambil terus mengingat ingat perkataan pacar aku tadi.

Orang orang terus saja berdatangan. Sebagian aku kenal, sebagian lagi tidak. Ah, aku tak begitu ambil perhatian. Aku terus saja memegang tangan mamahku dan menguatkannya. Lama aku diruangan itu. Sengaja. Simpel alasannya. Aku belum kuat menyaksikan ayahku yang terbujur kaku seperti itu. Fakta yang sangat sulit aku terima.

Aku ikuti semua tata cara yang tersisa. Aku berusaha mengabdikan diriku sebaik mungkin kepada almarhum ayahku, untuk yang terakhir kalinya, sebisa aku. Sungguh, yang tersisa hanyalah penyesalan waktu itu. Aku tak sempat memandikan ayahku. Aku gag sempat melihatnya dikafani. Pelik, sangat pelik. Kenapa aku harus jauh disaat seperti ini?


**********


Begitu banyak penyesalan yang hinggap di benakku. Rata rata, semua penyesalanku itu berujung pada satu muara. Apa yang telah aku perbuat ke ayahku selama dia hidup? Aku merasa.....sangat kurang dalam hal membahagiakan beliau. Terlebih saat beliau sakit. Rasanya seperti setiap hari bermusuhan dengan beliau. Ayahku bertambah sensitif dan mudah marah selama beliau sakit. Wajar kalau dipikir. Namun aku yang waktu itu menganggap ini semua adalah sesuatu yang tidak meng-enakkan. Aku selalu menghindar akibat sifat beliau yang seperti ini. Terlebih saat waktu malam datang. Ayahku selalu dan selalu marah2. Minta ini lah itu lah, padahal semuanya adalah pantangan yang tidak boleh dilakukan. Dan apabila keinginannya tidak dikabulkan, beliau meledak, marah hebat. Semua semua nya dimarahi. Tangis adalah hal biasa di keluarga kami waktu itu. Dan ini yang selalu kusesali. Aku kerap kali menghindar, menimpakan semuanya kepada orang lain, dan akunya lebih memilih cuek. Sungguh, aku sangat menyesalinya sekarang . .


**********


Aku mengambil break seminggu full untuk tetap berada di madiun. Didalam seminggu itu, ditiap sore hingga malam, dirumahku selalu ada acara. Dan seminggu itu pula, aku selalu ditemanin dan dibantu oleh kehadiranny. Ya, dia yang sangat aku sayang. Dia selalu ada. Dia selalu dan selalu menghiburku dikala aku terlihat sedih dan teringat akan ayahku. Dia begitu dekatnya dengan keluargaku. Aku senang. Aku bahagia bisa bersama dia. Semua rasa sesak dan sedih seakan dihapus sedikit demi sedikit oleh kehadirannya. Honey, iloveyou so much. Kamu sangat berharga, melebihi apapun. Kamu udah bantu banyak sayang. Teramat banyak. Mungkin melebihi apa yang ada dipikiranmu...Sekali lagi, makasih banyak sayang...

Acara demi acara aku lalui. Satu hal yang sangat menyesakkan adalah...saat malam hari dimana orang sudah pulang ke kediamannya masing2 untuk beristirahat. Rumah jadi sepi. Hal ini yang sering membuatku terisak dalam diam. Kami semua berkumpul di satu ruangan. Tak ada yang tidur terpisah, semuanya ngumpul jadi satu. Begini seterusnya kira2 hampir selama seminggu. Tak ada lagi teriakan teriakan minta dipijitin. Tak ada lagi suara suara yang membangunkan kami semua dari lelap. Tak ada lagi hentakan, tak ada lagi amarah dan tangis. Sekilas melegakan, tapi ternyata tidak. Sepi ini membunuhku. AKU TERISAK.


**********


Ayahku adalah superhero. Ayahku adalah ayah terhebat. Bahkan aku menyangsikan diriku sendiri apa aku bisa seperti dia kelak? Ayahku sangat perhatian kepada anak2nya. Ditiap pagi dan malam, selalu ada telepon yang masuk, yang tidak lain tidak bukan dari ayahku, yang menanyakan kabar anak2nya. Apakah sehat semua? Yang menanyakan apakah anak2nya sudah makan? Dengan lauk apa makannya? Apakah udah ngerjain PR dari sekolah? ya...seperti itu kami bertiga tumbuh berkembang. Dengan jauh dari ayah. Tentunya kami tidak menginginkan keadaan seperti ini. Aku kepingin hidup seperti keluarga lainnya, dengan ada ayah disampingnya. Namun ayahku rela melakukan ini semua. Terpisah jauh dari anak istrinya. Demi agar anak istrinya, demi keluarga kecilnya ini bisa memperoleh kehidupan yang baik. Aku minta mainan bisa dibelikan. Aku minta es krim bisa dibelikan. Adek adekku minta baju baru bisa dibelikan. Ya, demi ini semua. Ayahku hebat. Sangat sangat hebat. Aku bangga punya ayah yg seperti dia. Aku kangen. Hanya doa yang sekarang bisa kuhadirkan untukmu pah. Kangen2nya aku selipin di doa aja ya :') Papa baik2 disana ya...


Salam hangat dari kita bertiga, aku, dek da, dek ndo sma mamah. 

Sayang papah.